Menimbang karya Bahtiar Effendy
21 November 2019, dini hari. Salah satu Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Bahtiar Effendy menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih. Salah satu pendiri dan Dekan FISIP UIN Jakarta tersebut adalah alumni Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, dan doktor Ilmu Politik lulusan Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat.
Wajah Islam Politik Indonesia
Relasi agama dan negara tak pernah habis-habisnya didiskusikan, dan adukannya diujicobakan di berbagai negeri. Di banyak negara berbasis Islam atau peduduk muslim, racikan dan sintesis antara gerakan dan gagasan politik Islam dalam konteks bernegara diwarnai oleh ketegangan-ketegangan dalam berbagai gradasinya, bahkan melahirkan konflik maupun permusuhan berkepanjangan. Tak terkecuali di Indonesia.
Prof Bahtiar bahkan menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami jalan buntu dalam upaya ini. Ketika aspirasi kelompok muslim–yang salah satunya diakibatkan kekecewaan kelompok Islam dalam “perebutan” ideologi negara pada awal pembentukan negara—kemudian diwujudkan dalam bentuk partai-partai berbasis Islam, baik Soekarno maupun Soeharto lebih memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam itu sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Sepanjang lebih dari empat dekade, pemerintahan dua presiden ini berupaya keras melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.
Buku ini berada pada titik pijak, bahwa secara garis besar, pemikiran politik Islam berdiri pada dua spektrum yang berbeda. Pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan karenanya sistem politik modern diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.
Pada ujung spektrum yang lain, beberapa kalangan muslim lainnya berpendapat bahwa Islam “tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara [atau sistem politik] yang harus dijalankan oleh ummah.” Namun Islam atau Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia, yakni mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.” Artinya, sejauh prinsip-prinsip itu dipenuhi, maka mekanisme apapun yang diterapkan bisa dianggap sesuai dengan Islam.


Letupan pasca Soeharto
Mungkin akan menarik jika Prof Bahtiar sempat menambahkan bab khusus soal update terbaru tentang letupan berikutnya, yakni letupan 212, di mana aspirasi politik kelompok Islam seperti terkonsolidasi dengan sedemikian rupa, tanpa harus melalui partai politik.

