Tentang Etnografi Multispesies
Jika ada antropolog yang patut jadi acuan saat ini adalah Sophie Chao. Ia melakukan riset tentang Sawit di Merauke, ujung timur Provinsi Papua. Chao menunjukkan simbiosisme biotik antara hutan, binatang dan manusia yang lebih dari relasi antar manusia secara sosiologis. Chao adalah generasi peneliti model terbaru saat ini. Ia tidak menghabiskan waktunya dengan melakukan wawancara membosankan berjam-jam. Melainkan ia berjalan masuk keluar hutan, menyisir pohon pohon sagu sembari bercerita dengan orang Marind. Model pendekatan ini pula yg digunakan Anna Tsing dalam buku lawasnya, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan (1998).
Selamat datang di Historead Indonesia
Badingsanak
Bangun dari Tidur Panjang
Bertarung dalam Jagat Kesenian Indonesia
[/su_box]


Bibiti Sawit, Sophie Chao, In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies among Marind, West Papua, Cultural Anthropology, 2018
Gerak Sawit, Gerak Tentara
Bagi masyarakat Marind, tanaman seharusnya liar. Domestifikasi tanaman dalam jumlah besar adalah kekerasan dan kontrol terhadap pertumbuhan alami tanaman. Sawit, dalam pandangan orang Marind menyerupai garnisun militer . Chao menyebutnya sebagai “Topografi terror”. Untuk mengubah topografi tidak mudah. Untuk mengubah zona kawasan menjadi sawit, perusahaan perlu didukung oleh pengamanan tentara . Tanaman terlihat seperti militer karena mereka berbaris rapi, terlihat seragam dan homogen. Demikian juga seperti sawit, tentara bergerak dengan gerakan tubuh yang sama. Sawit, seperti tentara, adalah senjata pemerintah. Berbagai upaya melakukan pedampingan dan pembelaan yang dilakukan LSM nasional terbentur dengan tentara dan polisi yang semakin intensif dalam menjaga ruang lahan yang telah diduduki.
Sebagai topografi terror, Sawit adalah teror publik karena ia muncul melalui manipulasi lanskap yang dipromosikan oleh negara. Ia meresonansikan perasaan yang penuh kontrol, ketakutan dan perasaan terancam. Dalam pengambilan lahan (land grabbing), komunitas Marind tidak diberi informasi apakah lahan akan kembali ke mereka atau tidak ketika menandatangani kontrak. Daripada berkonsultasi dengan baik dengan komunitas, perusahaan melakukan gerak cepat pengambilan lahan sehingga komunitas tidak mempunyai cukup waktu mempertimbangkan lahan-lahan kolektif mereka. Tidak terjadi perbincangan yang cukup karena prosesnya pengambilannya juga melalui elit-elit kampung. Komunitas kemudian merasa mereka telah mengkhianati relasi relasi hewan dan binatang di hutan, dan mengkhianati relasi mereka dengan nenek moyang.
Chao juga menulis di sebuah majalah populer antropologi Sapiens. Ia menunjukkan sisi gelap dari ide berkelanjutan ala sawit dengan cara perusahaan melakukan konservasi agar mengcounter rusaknya pembersihan hutan (land clearing). Dalam kenyataannya, kapitalisme dan konservasi adalah dua koin yang sama karena keduanya tetap mengeksklusi masyarakat dari tanahnya dan relasi multispesies mereka dengan hutan. Di majalah ini, anekdot yang meruntuhkan hati adalah seorang anak yang meninggal karena meminum air terkontaminasi luberan limbah dari pabrik sawit. Orang tua anak tersebut hendak menguburnya di dalam hutan dekat dengan kawasan nenek moyang mereka. Perusahaan kemudian menolak. Mereka menganggap tindakan tersebut tidak higienis. Dengan alasan konservasi berkelanjutan, mereka beranggapan mengubur tubuh di dalam hutan akan mengundang tikus dan serangga, dan menganggu flora dan fauna di dalamnya. Anak ini kemudian dikubur disamping jalan Trans Papua, sebuah proyek raksasa pemerintah nasional. Orang tua anak ini kemudian dihantui oleh mimpi buruk tentang anaknya yang kesepian disamping jalan Trans Papua yang berdebu. Kekerasan atas nama konservasi dan kapitalisme tidak hanya menghancurkan keseharian orang orang Marind, bahkan seperti diatas, ia telah mengganggu kedamaian manusia yang telah mati.
Kooptasi Nilai Sosial
Kehidupan sosial lain yang dikooptasi adalah ritual. Perusahaan menggunakan ritual sebagai cara mempasifikasi atau mendamaikan komunitas. Chao menyebutnya sebagai “coopted ritual” atau ritual yang dikooptasi adalah ritual yang didanai oleh korporasi. Tujuannya untuk mengkooptasi agar komunitas terpesona terhadap infiltrasi kapitalisme sawit. Meski demikian, riset Chao masih menyisakan pertanyaan bagaimana perusahaan dapat mengetahui nilai sosial seperti resiprositas dan ritual yang kemudian dikooptasi oleh mereka. Chao berpendapat hal tersebut didapat dari gosip dan rumor yang beredar, namun penjelasan tersebut belum begitu meyakinkan.
Kabar baik saat ini adalah Uni Eropa melakukan moratorium terhadap penanaman sawit dan tidak menerima lagi produk sawit. Kabar ini setidaknya memberhentikan untuk sementara perluasan dan pembersihan hutan untuk lahan sawit. Moratorium sekaligus memberikan nafas lega untuk ratusan ribu peladang (smallholders) di Papua untuk meneruskan livelihood (mancari) mereka. Pada tahap inilah, gerakan gerakan lokal perlu menggaungkan dirinya hingga terdengar oleh jejaring NGO dan aktivisme internasional yang terbukti mampu mengurangi praktik ekstraksi di ranah lokal. Meskipun terkadang, kabar baik seperti ini hanya bersifat sementara. []