Address

Zavira Regeny Blok A7
Batas Kota Pekanbaru - Kampar
Riau — Indonesia

Work Hours

Senin - Sabtu, 08.00 - 17.00 WIB

Desersi Sang Penyair, Kisah Arthur Rimbaud

Tentang Tentara Bayaran di Jawa Kolonial

Perlu ada upaya mencerling

Ikhtiar melihat dengan menjungkir-balikkan segala makna yang sudah ada

untuk sampai pada yang tak dikenal

hidup sejati yang berada di tempat lain

Di bawah sini cuma yang khayali

Dijejali dengan rangka kerontang

Hasil permenungan sempit masyarakat Barat

Arthur Rimbaud

Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-1891) tiba di Jawa sebagai tentara bayaran Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL, Serdadu Kerajaan Hindia-Belanda) pada 1876. Sedikit dari pembaca dan penikmat puisi-puisinya yang tahu banyak mengenai pengalaman Rimbaud ini. Pada masa Perang Dunia II, Van Dam, sejarawan militer Belanda, menerbitkan artikel di De Fakkel ihwal perjalanan yang keren ini. Bahan-bahan perihal itu dihimpun dari arsip militer tentara Belanda.

Rimbaud lahir di Charleville-Mezieres, Prancis, 24 Oktober 1854. Orangtuanya bercerai saat dia berumur enam tahun. Lantas dia tinggal bersama sang ibu. Ayahnya seorang kapten dalam angkatan bersenjata Prancis yang ikut berperang di Aljazair, Krim dan Italia.

Rimbaud punya bakat belajar bahasa asing. Pada 1874, dia memulai kehidupan berkelana nan penuh petualangan, yang baru berhenti pada saat kematiannya di Marseille, Prancis, pada 10 Oktober 1891. Dia sering bepergian di Eropa dan melewatkan hari-harinya di Brussel, London, Antwerpen, Stuttgard, Italia, dan Marseille. Sebelum berangkat ke Jawa, dia menulis Le bateau ivre (‘Kapal Mabuk’), Les Illuminations (‘Pencerahan’), dan une saison en enfer (‘Semusim di neraka’). Menurut Benedict Anderson, perginya Rimbaud dari Eropa biasanya dikaitkan dengan sepuluh tahun yang dihabiskannya terutama sebagai agen bisnis di Aden, dan nantinya penyeludupan senjata untuk kaisar Kristen Etiopia, Kaisar Menelik di Harar (Anderson, 2015: 65).

Usianya baru mencapai duapuluh dua tahun ketika Rimbaud mendaftarkan diri jadi serdadu KNIL pada 1876. Rimbaud jelas tahu bahwa tiga tahun sebelum rezim kolonial Belanda sudah memulai apa yang akhirnya terbukti menjadi kampanye militer brutal tigapuluh tahun untuk menaklukkan Atjeh. Mengapa dia melakukan itu? Hal ihwal itu tetap menjadi misteri. Van Dam menduga, Arthur Rimbaud telah mendengar kisah-kisah tentang Hindia-Belanda saat dia tinggal di Antwerpen, juga di Marseille, waktu dia bekerja sebagai kuli pelabuhan.

Menurut Van Dam, KNIL itu semacam legiun asing Eropa. Dari tahun 1855 hingga 1893, di antara 72.006 anggota tentara itu, hanya 44.860 yang berkebangsaan Belanda, sisanya berasal dari Swiss, Jerman, Prancis, dan Belgia. Pada tahun-tahun tertentu, jumlah tentara berkebangsaan asing, bahkan melebihi jumlah tentara asal Belanda.

Pada 1876, ketika Rimbaud bergabung dengan KNIL, paling tidak terdapat 1.093 orang Prancis dan hanya 992 orang Belanda. Terdapat pula 72 orang Swiss, 224 orang Jerman, 1.316 orang Belgia, dan 150 orang lainnya yang berasal dari berbagai negara di Eropa. Dari tahun 1855 hingga 1893, terdapat 3.488 orang Prancis dalam tentara Hindia-Belanda itu.

Apa pun alasannya bergabung dengan KNIL, Rimbaud datang ke Haderwijk pada 18 Mei 1876, mendaftarkan diri, dan diterima keesokan harinya sebagai serdadu bayaran. Pada penerimaan itu, dia mendapat uang tunjangan sebesar tigaratus gulden. Bagi Rimbaud, uang sejumlah itu sudah cukup besar, tetapi nampaknya harta karun itu berkurang dengan cepat karena digunakan untuk minum-minum bersama beberapa orang temannya, sebelum keberangkatan yang ditetapkan jatuh pada 10 Juni 1876 (Dorleans, 2006: 473-4).

Dia menerima seragam kain keper dari wol berwarna biru yang dihiasi dengan sulaman, topi tinggi dengan bordiran pita oranye dan satu topi militer abu-abu untuk melaksanakan perjalanan panjang yang menantinya. Agak sulit bagi kita membayangkan pengarang Bateu ivre mengenakan pakaian semacam itu.

Pada pagi menjelang keberangkatan, para serdadu baru berbaris meninggalkan tangsi mereka hingga ke stasiun kereta api, karena pemindahan pasukan biasanya dilaksanakan dengan kereta api hingga ke bandar Den Helder melalui Utrecht. Sebagai tindakan jaga-jaga untuk menghindari desersi pada saat-saat terakhir, mereka didampingi oleh satu pasukan kawal bersenjatakan bedil dengan bayonet terpasang.

Tidak jarang para tentara baru, yang mendaftarkan diri hanya untuk mendapatkan bayaran pertama sebesar tigaratus gulden, mencoba melarikan diri pada detik-detik terakhir, apalagi banyak di antara mereka tahu bahwa hanya sedikit yang bakal berhasil kembali dari Asia pasca enam atau sepuluh tahun berdinas.

***

Pada 10 Juni 1876, Rimbaud meninggalkan pelabuhan Den Helder dengan menumpang kapal uap Prins van Oranje milik perusahaan pelayaran Belanda. Keberangkatan mereka diantar dengan dua salvo artileri. Para serdadu beristirahat di tempat tidur gantung di dek yang disediakan bagi pasukan dan menerima jatah kopi, teh, gula, dan mentega serta beberapa biskuit selama minggu pertama pelayaran yang membawa mereka dari Belanda ke Southampton. Di kota itu, kapal memuat persedian daging untuk sisa perjalanan selanjutnya, dan bersandar di dermaga yang dijaga secara ketat. Selama proses pemuatan itu, seorang serdadu Prancis berhasil meloncat dari kapal namun tenggelam.

Setelah meninggalkan Southampton, para sedadu mendapat sedikit tembakau untuk diisap atau dikunyah, pipa kayu, permainan loto, dan dam. Menu agak berubah. Roti segar diganti dengan biskuit kering. Pada jam delapan pagi, kopi dihidangkan, kemudian pada jam sembilan sup gandum, tengah hari para serdadu dapat menikmati segelas anggur, yang biasanya ditambah dengan segelas minuman keras pada malam Minggu. Jam empat sore sekali lagi teh dan biskuit dibagikan. Untuk hari Minggu, disajikan menu khusus yang atas daging segar dan kue-kue.

Di ruang antardek, tak jarang terlihat satu atau beberapa ekor sapi yang menjadi sumber susu segar selama perjalanan. Selain itu, kemewahan yang mungkin terpantul dari diangkutnya sapi dan hadirnya dokter di kapal pada zaman itu, menjadi bahan iklan untuk menarik pelanggan yang telah memutuskan untuk melakukan pelayaran semacam itu.

Pasca melewati Selat Gibraltar, kapal berlayar ke Napoli dan singgah di sana, tapi hanya perwira yang diperkenankan turun ke darat. Hatta, perjalanan dilanjutkan melalui Terusan Suez yang baru dibangun sampai ke Port Said. Dalam setiap persinggahan, para serdadu baru tergoda untuk melarikan diri. Pada 26 Juni, giliran seorang Italia yang dikabarkan menghilang, ketika kapal berlayar menuju Terusan Suez. Pada 28 Juni, enam serdadu tidak hadir pada saat pemeriksaan. Hanya seorang dari mereka yang berhasil ditangkap beberapa hari kemudian di Ismailia. Dia dipaksa naik ke kapal berikutnya yang bernama Voorwaarts yang mengikuti dari dekat pelayaran Pris van Oranje. Meskipun demikian, desertir kepala batu itu sekali lagi berhasil kabur setibanya di Jawa, dan tidak pernah ditemukan kembali. Lantas pada 2 Juli, seorang serdadu lain meloncat dari kapal ke Laut Merah, namun di hilang untuk selamanya (Dorleans, 2006: 476-7).

Selama melintasi Laut Merah, para serdadu menerima seragam yang lebih tipis dan lebih sesuai dengan suhu tropis, terdiri atas dua kemeja belacu putih dan satu celana panjang bergaris-garis biru putih dan satu tam-o’-shanter (sejenis baret Irlandia). Pada 19 Juli 1876, kapal Prins van Oranje tiba di Padang dan dari sana melanjutkan tahap perjalanan terakhir hingga Teluk Batavia. Pembangunan pelabuhan baru Tanjung Priok baru saja dimulai pada Mei 1877. Pasca mendarat, para serdadu menerima roti putih segar, segelas anggur, dan berjalan ke arah stasiun trem yang masih ditarik dengan kuda, yakni Bataafse Tramway Maatschappij. Kemudian mereka menuju tangsi Meester Cornelis di daerah Jatinegara, dan tiba pada jam dua siang. Kebobrokan bangunan yang dulunya pabrik pengeringan teh memantulkan sambutan yang tak bersahabat.

Sehari setelah kedatangan para serdadu di Batavia, komandan setempat mengadakan inspeksi dan para serdadu baru diundang untuk mengajukan pengaduan mengenai perlakuan buruk yang mereka alami selama perjalanan yang baru lalu. Kemudian komandan itu menyeleksi dan merekrut para relawan untuk bagian zeni militer, untuk bagian persenjataan, dan tidak lupa meminta memperkenalkan diri siapa yang bisa main musik. Pada masa itu, angkatan bersenjata KNIL sedang amat kekurangan orang-orang yang berkualitas dan mencari orang yang punya kemahiran di pelbagai bidang.

Mungkin saja Arthur Rimbaud tidak tinggal lebih daripada seminggu di Batavia, terlebih karena tangsi harus dikosongkan sesuai dengan perkiraan kedatangan kapal berikutnya, yakni Voorwaarts, yang dijadwalkan tiba pada 20 Agustus, mengangkut duaratus empatpuluh dua orang anggota pasukan. Rimbaud bergabung dengan batalion infantri. Setengah dari batalion KNIL ini ditempatkan di Tuntang dan setengahnya lagi di Surakarta.

Pada 30 Juli, Rimbaud pun meninggalkan Batavia menuju bandar Semarang dengan menumpang kapal Minister Fransen Van de Putte. Kemudian dari Semarang dia naik kereta api ke Kedaung Jati. Dari perjalanan rencananya dilanjutkan ke benteng Willem I yang merupakan garnisun Tuntang, atau lebih jauh lagi ke Surakarta. Dalam hal dia ditempatkan di Tuntang, Rimbaud mestinya turun di Tuntang, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki ke tangsi Tuntang.

***

Pada 30 Agustus 1876, Rimbaud dilaporkan hilang saat apel. Jadi, kurang daripada tiga minggu setelah kedatangannya ke Tuntang. Desersi merupakan satu pelanggaran yang dapat dikenai hukuman dua bulan hingga satu tahun kurungan di penjara militer. Bagaimanapun juga, administrasi militer mencoret nama Rimbaud dari daftar, duapuluh delapan hari pasca dia menghilang, yakni 12 September 1876.

Bagaimana Rimbaud dapat meninggalkan barak KNIL di Tuntang dan desersi?

Jalan mana yang dia lalui untuk meninggalkan pulau Jawa?

Tentu saja masuk akal bahwa tidak ada dokumen yang berisi informasi perihal perjalanan itu, yang per definisi tergolong rahasia. Satu-satunya keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan dan yang tersedia adalah bawa Rimbaud muncul kembali di rumah keluarganya di Charleville pada 31 Desember 1876, jadi empat setengah bulan setelah desersi. Dua minggu sesudahnya dia disersi, dan cukup lama berhasil menghindari pihak berwenang sampai dia bisa membuat perjanjian dengan seorang kapten kapal asal Skotlandia yang kapalnya kekurangan awak. Kapal ini membawa gula merah (Jawa) ke Eropa. Menyamar bernama “Mr. Holmes”, Rimbaud mengarungi perjalanan 90 hari yang sangat meletihkan ke Cork, melewati Tanjung Harapan, sebelum merapat ke Prancis pada awal Desember. Tangsi di Tuntang, tempat Rimbaud berdinas selama dua minggu itu–di perbukitan sejuk di selatan Pelabuhan Semarang–hingga kini masih berdiri dengan tenang. (Anderson, 2015: 65-6).

Apa pun alasan desersinya, yang jelas Arthur Rimbaud tidak memiliki temperamen yang laik untuk kehidupan militer. Setelah tujuannya mengunjungi Jawa tercapai, dia tentu memutuskan untuk pulang secepat mungkin ke Eropa. []