Address

Zavira Regeny Blok A7
Batas Kota Pekanbaru - Kampar
Riau — Indonesia

Work Hours

Senin - Sabtu, 08.00 - 17.00 WIB

Strategi Kebudayaan Ansor

Catatan atas Bonus Demografi

Gerakan Pemuda (GP) Ansor sejauh ini telah menyandang predikat sebagai organisasi pemuda terbesar dan terluas di Indonesia. Lahir dari cita-cita para ulama NU untuk menciptakan generasi muda yang memiliki semangat kepeloporan, kebangsaan, kerakyatan dan keagamaan.

Asas organisasi dan ranah gerakannya berdasarkan Pancasila dan ajaran Islam Ahussunah Waljamaah (Aswaja) yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Memiliki peraturan dasar yang menekankan pada, 1) pembangunan karakter/mentalitas generasi muda bangsa, 2) yang sesuai dengan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah, 3) serta terus berperan aktif dan kritis dalam upaya meraih cita-cita pembangunan bangsa.

Sejak dilahirkan kiprah GP Ansor diproyeksikan untuk menjadi wadah pengabdian yang sifatnya konkret. Terutama pengabdian terhadap agama, negara dan pesantren sebagai basis gerakan organisasinya.

Namun, kiprah yang diusung oleh GP Ansor bukanlah hal mudah dan tanpa tantangan di tengah dinamika sosial, politik, ekonomi dan penetrasi ideologi secara global. Rizqon Halal Syah. A., dalam bukunya “Ansor dan Tantangan Kebangsaan: Sebuah Refleksi Demografi Politik, Dari Social Capital Menuju Human Kapital” menuliskan sebuah peta persoalan kebangsaan yang menantang kiprah GP Ansor dalam menjalankan perannya sebagai organisasi pemuda di Indonesia.

Setidaknya terdapat dua tantangan yang tertuang dalam buku tersebut, yaitu 1) peluang bonus demografi dan globalisasi ekonomi pasar 2) serta penetrasi ideologi Fundamentalisme Islam. Kedua tantangan di atas sudah mulai nampak dalam fenomena kehidupan kebangsaan kita hari ini. Yang tentu saja perlu mendapat perhatian serius guna menyongsong kesiapan kita untuk mengadapinya di masa depan.

Ansor dan Peluang  Bonus Demografi

Bonus demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 16-64 tahun). Indonesia diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada 2020–2030. Dimana jumlah penduduk usia kerja akan meningkat tajam dibanding penduduk usia non-produktif

Menurut Christine Lagarde, Direktur Operasional IMF, menyatakan bahwa di waktu itu sekitar 70% penduduk Indonesia adalah usia produktif. Diperkirakan terdapat 200 juta jiwa bisa menjadi tenaga kerja produktif dan konsumen potensial dalam perekonomian global.

Namun, bonus demografi memiliki dua sisi yang bertentangan. Di satu sisi dapat menjadi berkah dan di sisi lain bisa menjadi bencana. Akan menjadi bencana jika melimpahnya penduduk usia produktif tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan, keterampilan, pandangan keagamaan serta karakter dan jiwa nasionalisme.

Tantangan liberalisasi pasar yang baru-baru ini dihadapi ialah adanya integrasi ekonomi kawasan (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). MEA akan menjadi masalah apabila Bangsa Indonesia hanya dijadikan objek penyedia tenaga kerja murah dan target pasar semata. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi yang tepat agar bonus demografi bisa menjadi pendorong kemajuan, bukan malah menyeret Bangsa Indonesia ke jurang kemunduran.

Organisasi NU yang memiliki anggota sebanyak 140 juta jiwa, dimana 93 juta jiwa atau 66,6% di antaranya, termasuk kategori usia produktif. Besarnya jumlah anggota NU yang berusia produktif harusnya menjadi titik tolak kebangkitan NU dan Ansor khususnya. Oleh karena itu, Ansor harus ikut mengambil peran untuk memastikan 93 juta anggota NU bisa menjadi manusia yang bermartabat dan berdaulat dalam kancah perekonomian global.

Komitmen Ansor dengan tetap berpegang teguh pada karakter Aswaja bisa dijadikan dasar dalam strategi menghadapi tantangan tersebut. Pemantapan karakter Aswaja dari segi peningkatan iman, ilmu dan kreativitas kepada generasi muda NU mutlak menjadi prioritas. Karakter Aswaja perlu disebarluaskan sebagai strategi kebudayaan untuk menopang perubahan sikap mental generasi muda. Dengan demikian, Ansor, NU, dan Indonesia kelak akan siap menghadapi tantangan sekaligus peluang bonus demografi dan liberalisasi ekonomi global demi tercapainya cita-cita kesejahteraan bangsa.

Ansor dan Penetrasi Ideologi Fundamentalisme Islam

Tantangan kebangsaan berikutnya yaitu penetrasi ideologi gerakan fundamentalisme Islam. Sebuah pandangan keagamaan yang cenderung fanatik dan intoleran. Gerakan tersebut semakin luas mengembangkan pengaruh dan jaringannya melalui institusi-institusi sekolah, kampus dan tempat-tempat ibadah umat muslim.

Sasaran empuk yang dibidik mereka ialah kalangan generasi muda. Kalangan yang masih rentan mengalami keterguncangan sosial, sehingga mudah menerima doktrin ideologi yang sifatnya fanatik dan intoleran. Gus Dur menyebut kelompok tersebut sebagai kelompok kecil, akan tetapi memiliki kekuatan untuk memengaruhi mayoritas.

Terdapat dua golongan besar kelompok fundamentalisme Islam. Pertama ialah gerakan Islam radikal bercorak transnasional yang berbentuk gerakan politik dengan tujuan mendirikan negara Islam. Beberapa kelompok yang ada di Indonesia di antaranya, gerakan Islam tarbiyah oleh Ikhwanul Muslim, Hizbut Tahrir Indonesia dan gerakan Salafi Wahabi. Berdasarkan corak dan gerakannya tentu saja kelompok tersebut dapat merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua ialah gerakan Islam garis keras di tingkat nasional dan regional. Beberapa kelompok yang dikenal di Indonesia di antaranya, Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan Majelis Mujahidin Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut merupakan ujung tombak penyemaian bibit gerakan Islam radikal di kalangan generasi muda. Disinyalir merekalah yang berada di balik aksi-aksi intoleransi berupa sweeping warung, tempat hiburan, gereja dan sebagainya.

Kecenderungan kedua golongan Islam di atas memiliki sikap yang beringas, agresif, intoleran, penuh kebencian dan antidiskusi. Hal tersebut tentu saja merisaukan bagi perkembangan generasi muda di Indonesia.

Fenomena munculnya gerakan Islam radikal dan garis keras adalah tantangan berat yang perlu dijawab oleh GP Ansor. Bagaimanapun posisi Ansor yang asas organisasinya berdasarkan Pancasila dan berpegang teguh pada ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah dituntut untuk jihad demi menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Diperlukan suatu langkah antisipatif dan protektif, tentunya dengan cara-cara yang toleran dan menjunjung tinggi kedaulatan hukum Negara Indonesia.

Strategi Kebudayaan Aswaja

Aswaja bukanlah mahzab agama, tetapi manhaj al fikr (tawasuth, i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar), yang artinya selalu bersifat inklusif, toleran dan dinamis. Sifat-sifat Aswaja perlu dikembangkan menjadi suatu sikap kebudayaan dalam menghadapi tantangan kebangsaan.

GP Ansor sebagai anak kandung NU yang mewarisi Aswaja harus menjadi teladan bagi organisasi kepemudaan lain di Indonesia. Bisa menjadi gerakan pemuda yang inklusif bagi semua kelompok atau golongan dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Menjadi sebuah gerakan sosial-ekonomi inklusif dengan semangat pengabdian dan pendampingan pada kelompok yang dimarjinalkan. Serta tetap menjadikan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai pedoman perjuangan kebangsaannya.

Strategi kebudayaan Aswaja, yang dirumuskan dalam buku karangan Rizqon, merupakan konsep ideal tentang sinergi antara gerakan keagamaan dan kebangsaan. Suatu upaya atau proses untuk melahirkan manusia etis yang berbudaya (tidak antiperubahan), bermoral (tidak antinilai), estetik (mencintai keindahan dan kedamaian) dan religius (beriman dan menghargai hak orang lain). Strategi tersebut diharapkan dapat mempertajam kemampuan reflektif dan kritis untuk menyikapi persoalan keagamaan dan kebangsaan.

Kontribusi penting dalam buku ini ialah pemaparannya tentang pandangan GP Ansor dalam menghadapi persoalan kebangsaan. Sekaligus tentang bagaimana sikap GP Ansor untuk menghadapinya sekarang dan di masa mendatang dengan strategi budaya Aswaja. []